Senin, 16 Januari 2012

Catatan Seorang Perencana Keuangan


Hari ini, aku melihat sebuah drama kehidupan. Tentang kematian, tentang perpisahan. Seorang pria terbujur kaku, didampingi tangisan istri dan anaknya yang masih kecil. Usia 6 bulan.

Ah, selalu saja ada ruang hampa melihat perpisahan…

Tapi yang membuatku lebih hampa lagi, adalah saat seminggu yang lalu aku datang ke keluarga ini. Waktu itu, aku datang dengan membawa proposal asuransi. Dan tanggapan sang suami sangat di luar dugaan. Ia, yang hari ini kulihat sudah tak bernyawa, malah mengejekku,”Apa kamu pemilik nyawa?” Aku sempat bingung ke mana arah pertanyaannya.



“Maksud Bapak? Mana mungkin saya pemilik nyawa? Wong nyawa saya sendiri saja masih minjem!”

“Lho, kok kamu berani-beraninya menawarkan sebuah harga untuk nyawa saya?”

Ya Tuhan. Kenapa Bapak ini berfikir sejauh itu?

“Pak, saya tidak bermaksud memperjual-belikan nyawa. Jelas nyawa bukan milik kita. Yang saya coba tawarkan di sini adalah sebuah jaminan, dimana andaikata terjadi suatu musibah dengan Bapak, ada santunan kematian sejumlah sekian ratus juta rupiah agar keluarga Bapak tidak mengalami kesulitan keuangan pasca ‘pergi’nya Bapak. Tidak ada yang bisa menduga, kapan kita akan dipanggilNya. Apa salahnya kita beri sedikit bekal untuk keluarga, agar hidup mereka tidak terkatung-katung?”.

“Ah, bisa saja kamu berdalih!”

Aku berusaha tenang. Melihat caranya merendahkanku, aku hanya bisa tetap tenang.

“Bapak, apa Bapak tahu, orang seperti apa yang mau merencanakan keuangan keluarganya dengan berasuransi+investasi?”

“Coba kamu yang ngomong!”

“Hanya ada 2 jenis orang. Satu, orang yang beriman, karena dia tahu, suatu saat, dia pasti mati. Dan yang kedua, orang yang sayang keluarga.”

Tiba-tiba kulihat ia salah tingkah,”Ah, bukan begitu caranya sayang keluarga. Yaa….kita serahkan saja semuanya pada Tuhan. Tuhan menjaga keluarga saya”

“Kalau begitu, Bapak nggak usah kunci pintu rumah saat akan pergi meninggalkan rumah”

“Memang kenapa?”

“Kan dijaga Tuhan!”

Wajahnya tambah memerah

Lalu aku permisi pulang. Kubiarkan ia berfikir.

Tapi ternyata aku salah. Bapak itu tidak diberi waktu banyak untuk berfikir. Tuhan lebih dulu memanggilNya. Kecelakaan tragis merenggutnya dari keluarga tercinta. Maka hari ini, sang istri mendekatiku saat aku datang melayat,”Maafkan suami saya, Mbak! Ah, andaikata kemarin ia mau menandatangani aplikasi yang Mbak ajukan…”

Aku peluk ia,”Sudahlah, Bu. Mungkin saya belum diberi kesempatan Tuhan untuk menolong…”

Aku benar-benar merasa hampa. Kehampaan yang tidak bisa terbayar dengan komisi yang tidak seberapa, andai bapak tadi mau merencanakan keuangan keluarganya.

Do it, Man! Sebelum terlambat.
Life is full of supraise.
We never know....
Just prepare, better than regret because we do nothing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar